Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Jumat, 08 Oktober 2010

ILLEGAL LOGGING

LATAR BELAKANG


Permasalahan illegal logging (pembalakan liar) tidak pernah selesai dibicarakan. Dari tahun ke tahun isu tersebut justru semakin memanas, karena penyelesaiannya tak kunjung mencapai titik temu. Seperti fenomena gunung es, kasus yang mencuat ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari praktik pembalakan liar yang melibatkan masyarakat, korporat, aparat, dan pejabat. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, kemudian menyebabkan bencana alam dan bencana ekonomi yang berkesinambungan.

Namun sampai sejauh ini penindakan terhadap pelaku pembalakan liar masih belum terlihat. Kondisi tersebut antara lain disebabkan rumitnya penanganan hukum terhadap kasus tersebut. Bahkan dalam banyak kasus, pelaku yang jelas terbukti bersalah dapat dinyatakan bebas ketika sampai di pengadilan. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya di benak masyarakat. Melihat fenomena hukum yang demikian, tentu saja pelaku pembalakan liar semakin leluasa melakukan aksinya sebab mereka merasa mudah melepaskan diri dari jeratan hukum.

PEMBAHASAN

Kegiatan penebangan hutan terutama untuk kebutuhan domestik, tentulah kegiatan yang sungguh sangat tua, mungkin sudah setua peradaban umat manusia. Pernyataan demikian tentulah tidak dapat dipungkiri, sehingga tidak diperlukan pembuktian-pembuktian. Tetapi penebangan komersil, itulah yang perlu disigi. Untuk menyingkat dan menyederhanakan, marilah kita lihat sejarah eksploitasi hutan Jawa.

Bahwa pada zaman kolonial Belanda, sumberdaya hutan (SDH) di Jawa sudah memasuki eksploitasi tahap kedua, karena eksploitasi tahap pertama sesungguhnya telah dimulai sejak jaman raja-raja. Pada zaman Kolonial, pelaku eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha etnis Cina. Penebangan hutan pada masa itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kayu jati guna pembuatan kapal-kapal kayu yang industri perkapalannya berada di Pantai Utara Jawa dan industri perkapalan yang ada di Rotterdam dan Amsterdam. Hutan di Jawa sudah sejak 1200 dieksploitasi dan semakin meningkat usaha eksploitasi tersebut di masa VOC. Akibat dari eksploitasi tersebut maka secara perlahan-lahan tetapi pasti SDH di Jawa mengalami kerusakan, sejalan dengan bangkrutnya VOC akibat korupsi para pegawainya. Pemerintah Belanda sangat khawatir dengan kerusakan hutan jati di Jawa karena industri perkapalan di Rotterdam dan Amsterdam, akan bangkrut juga. Oleh karena itu ratu Belanda memerintahkan Gubernur Jendral Herman William Daendles pada tahun 1808-1811 untuk membangun hutan jati yang rusak di Jawa .

Dari pemaparan diatas, jelas terlihat sesungguhnya kerusakan hutan jati di Jawa sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi sudah terjadi sejak raja-raja feodal menguasi daratan Jawa dan mencapai puncaknya pada masa VOC. Menariknya, keinginan pemerintah Kolonial Belanda sebagai pengganti VOC untuk merehabilitasi hutan jati di Jawa bukanlah atas dasar niat untuk menyelamatkan hutan atau untuk menjaga jangan terjadi bencana, tetapi latar belakang utama adalah untuk menjaga pasokan bahan baku untuk industri perkapalan mereka. Sejak itulah eksploitasi SDH terus berlangsung sampai hari ini. Lalu bagaimanakah kondisi hutan Indonesia sebenarnya ?.

Secara sederhana, Hariadi Kartodihardjo menyampaikan, berdasarkan data Departemen Kehutanan, Januari 2005, hutan Indonesia telah terdegradasi seluas 59, 7 juta hektar dan lahan kritis mencapai 42, 1 juta hektar. Di huitan produksi, sekitar 21,1 juta hektar saat ini tidak ada pengelolanya, karena telah bangkrut dengan meninggalkan hutan yang rusak. Berbanding lurus dengan situasi itu, menurut Kementrian Lingkungan Hidup 2003, Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Dalam tahun yang sama tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten. Dalam periode itu juga, 19 propinsi lahan sawahnya terendam banjir, 263.071 hektar sawah terendam dan gagal panen, serta 66.838 hektar sawah puso .

Lalu bagaimana dengan hutan Jawa sendiri, menurut Forest Watch Indonesia (FWI), Luas hutan Jawa keseluruhan, menurut perkiraan GFW, pada tahun 1997 seluas 1,9 juta hektare. Luasan ini berada di bawah angka luasan hutan di Maluku (5,8 juta ha), Sulawesi (hampir 8 juta ha), dan jauh di bawah Papua dengan luasan 33 juta hektare lebih. Lebih jauh lagi, persentase hutan di Pulau Jawa sangat rendah, yaitu hanya 14 % dari total luas daratannya. Sementara di pulau besar lainnya masih terdapat 35-81 % hutan. Dari angka ini terlihat bahwa jika hutan di pulau lain masuk dalam kategori ‘rusak parah’, maka hutan Jawa masuk dalam kategori ‘telanjur dibiarkan rusak parah terlalu lama’. Dalam situasi demikian, Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya, tepatnya, penduduk Jawa pada tahun 1999 adalah 116.324.536 jiwa. Luas pulau Jawa adalah 131.412 km2. Kepadatan penduduk Jawa adalah 887 jiwa/km2. Ada 6.381 desa di Jawa yang bertampalan dengan hutan atau berada di tengah hutan sepenuhnya. Jumlah desa hutan ini adalah seperempat jumlah desa di Jawa .

Dari data Departemen Kehutanan (2002) diketahui bahwa hutan rusak dan lahan kritis-yang berada di Daerah Aliran Sungai kritis di P Jawa-seluas 3.2 juta ha. Sekitar 0,6 juta ha terjadi di dalam kawasan hutan negara, atau 22 persen dari seluruh kawasan hutan negara, dan sisanya seluas 2,6 juta ha terjadi di luar kawasan hutan negara, atau 26 persen dari seluruh kawasan selain kawasan hutan negara. Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa masalah lingkungan yang berkaitan dengan hutan, seperti kerusakan habitat satwa liar, kepunahan spesies, tata air, banjir, dan lain-lain di Jawa memang sudah sangat memprihatinkan. Dimana pengelolaan hutan di Jawa saat ini tergantung pada PT. Perhutani untuk kawasan hutan produksi dan sebagian hutan lindung, pemerintah daerah (pemda) untuk kawasan lindung dan hutan hak (milik masyarakat), maupun Departemen Kehutanan untuk kawasan konservasi .

Dari semua cerita sedih tersebut, lahir berbagai analisi yang mencoba mencarikan penyebab kerusakan hutan yang sangat parah. Salah satu analisa tersebut menyebutkan kontributor utama kerusakan hutan di Indonesia adalah aktifitas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang mulai beroperasi sejak tahun 1970-an. Paling tidak hingga tahun 2001 pemerintah telah mengeluarkan izin HPH sebanyak 355 dengan luas total 38.025.891 hektar. Sebagian besar dari HPH itu bermasalah, karena merusak hutan dan menyingkirkan penduduk lokal dari kawasan hutan. Selain HPH, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan besar terutama kelapa sawit juga merupakan penyebab kerusakan hutan yang cukup signifikan. Hingga tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan izin HTI sebanyak 175 dengan luas total 7.861.251 hektar. Diperkirakan hanya 2 juta ha lahan yaang telah ditanami, sedangkan sisanya menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif. Kesenjangan antara permintaan dan pasokan kayu legal mencapai 35-40 juta meter kubik per tahun. Kesenjangan tersebut dipenuhi dari Pembalakan haram (Ilegal logging). Industri pengolahan kayu yang bergantung terhadap kayu yang ditebang secara illegal mencapai 65% dari pasokan total ditahun 2000.10 Data World Bank menyebutkan hingga tahun 1990 volume kerusakan hutan akibat pembalakan haram telah mencapai 80.000 hektar . Sementara itu penebangan liar dan perdagangan produk hasil hutan ilegal merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang, dan menambah kemiskinan masyarakat pedesaan yang hidupnya tergantung kepada hasil hutan. Kerugian akibat hilangnya pendapatan negara berkembang diperkirakan antara Euro 10 – 15 milyard per tahun .

Makalah singkat ini akan memaparkan tentang kebijakan Illegal Logging dalam konteks kebijakan dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya, terutama situasi yang dihadapi oleh petani tepi hutan Jawa. Makalah ini adalah tulisan awal tentang situasi-situsi petani Jawa, khususnya yang hidup dalam kawasan hutan maupun disekitar kawasan hutan.


Sampai sejauh ini, tidak ada satupun peraturan perundangan memberikan pengertian (definisi) resmi terhadap Illegal logging, padahal pengertian sehingga menjadi sangat penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk kedalam lingkup Illegal logging. Disinilah salah titik masuk yang menyebabkan operasi pemberantasan Illegal logging cendrung mengenai masyarakat.

Dalam pendekatan kata-kata, Illegal logging terdiri dari kata Illegal dan Logging. Arti kata Illegaal/onwettig (belanda) adalah tidak syah, tidak menurut undang-undang, gelap, melanggar hokum . Sedangkan onwettig berarti tidak syah, haram, melanggar undang-undang, bertentangan dengan undang-undang . Sementara itu arti kata Logging adalah kegiatan untuk menebang kayu. Maka dalam pendekatan sederhana kita dapat mengartikan Illegal logging sebagai penebangan kayu yang melanggar peraturan perundangan. Sebagian kelompok menyebut Illegal logging dengan kata pembalakan liar, penebangan liar atau penebangan tanpa izin.

Untuk peristilahan, setidaknya ada dua peraturan perundangan yang menyebut Illegal logging sebagai penebangan kayu Ilegal yaitu Inpres Nomor 5 tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan peredaran hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional tanjung puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Untuk memudahkan, dalam makalah ini akan digunakan istilah penebangan kayu illegal (PKI).

Sebagai disampaikan diatas, aturan tentang Illegal logging tidak terdapat pada satu aturan perundangan saja. Dalam proses penelusuran ditemukan sekitar 150 peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan undang-undang terkait yang mengatur mengenai illegal logging,diantaranya ; 1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, 2) UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan, 3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, 4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, 5) PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, 6) PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, 7) PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, 8) PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan 9) PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar .

Dengan menggunakan pendekatan fungsi hutan berdasarkan UU 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan (UUK), dimana hutan dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu fungsi konserfasi, fungsi lindung dan fungsi produksi . Termasuk kedalam fungsi konserfasi, terdapat hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru . Maka aturan tentang PKI itu tersebar pada aturan kehutanan dalam lingkup konserfasi, lindung dan produksi.

Tetapi sebelum masuk lebih jauh, ada baiknya kita lihat terlebih dulu aturan yang terdapat pada Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, karena inilah aturan pertama yang menyebut istilah PKI dengan lingkup berlaku, seluruh Indonesia.

Inpres ini menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang

Dewasa ini pada aturan kehutanan setingkat undang-undang, setidaknya terdapat tiga undang-undang yang krusial merumuskan perbuatan-perbuatan PKI yaitu UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UUK), UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup dan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konserfasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Dalam ketiga UU ini diatur beberapa kegiatan yang termasuk kedalam TKI.

ILLEGAL LOGGING DI JAWA

Jauh dipedalam Kalimantan Barat, penulis bertemu dengan satu orang penduduk asli setempat ketika dengan takjub memandang hutan tropis yang dengan sangat cepat telah berubah menjadi bentangan palm-palm raksasa (Sawit). Diketertegunan saya bertanya, siapakah yang memiliki kawasan hutan ini ?. Dengan antusias penduduk itu menceritakan bahwa hutan itu milik suku kami, dulu diareal itu terdapat tembawang dan nanti ketika perkebunan ini telah selesai, hutan ini harus kembali kepada kami, karena kami pemiliknya. Dalam pertemuan tidak lama setelah itu di sebuah pegunungan di pejalaman pulau Jawa, pertanyaan yang sama penulis tanyakan pada sekelompok masyarakat. Masyarakat itu menjawab, hutan ini milik negara, tetapi negara tentu untuk mensejahterakan rakyat. Kedua kejadian tersebut memberikan gambaran kepada kita bagaimana pandangan masyarakat terhadap keberadaan hutan didaerahnya.


KESIMPULAN

1. Peraturan perundangan kehutanan dan peraturan terkait tidak memberikan definisi/pengertian baku tentang apa yang dimaksud dengan Illegal Logging. Peraturan perundangan yang ada hanya memberikan peristilahan resmi yaitu Penebangan Kayu Ilegal (PKI).
2. Unsur pasal-pasal krusial yang mengatur tentang PKI seperti apa yang ditentukan dalam Pasal 50 UUK cendrung hanya dapat menjerat pelaku lapangan dan karena unsur-unsur yang sangat sederhana, maka petani yang tinggal dalam kawasan maupun yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan cendrung menjadi korban yang empuk bagi pidana PKI.
3. Model pengelolaan hutan yang dikembangkan secara tidak langsung menyebabkan akses terhadap hutan tertutup bagi masyarakat, dan kalaupun dibuka, hanya untuk kebutuhan tertentu dan dalam luasan minimal.
4. Sejarah kebijakan hutan Jawa, telah berabad-abad mengabaikan keberadaan ”penduduk Asli” petani yang tinggal dalam kawasan maupun yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan, sehingga ketidak adilan itu seolah-olah diterima menjadi sebuah keniscayaan sosial mereka.
5. Di Jawa, factor penting yang sangat mempengaruhi TPI adalah konflik tenurial hutan, dimana di Jawa tinggi sekali angka dan persentase petani gurem yang tentu saja berada pada garis kemiskinan. Karena kebutuhan kan tanah sangat tinggi, tekanan atas hutan juga kuat.


REKOMENDASI

1. Perlu penetapan definisi dan ruang lingkup Illegal Logging / PKI dan perbaikan beberapa aturan yang relefan misalnya UUK.
2. Untuk menghindari kriminalisasi terhadap masyarakat dalam operasi pemberantasan PKI, sudah menjadi keniscayaan bahwa konflik-konflik kehutanan dan tata batas hutan harus diselesaikan.
3. Khusus untuk Jawa, hak ekslusif Perum Perhutani dalam mengelola hutan produksi mulai dari Banten sampai ke Jawa Timur perlu dipertimbangkan lagi.
4. Masalah-masalah kehutanan yang berakar dari kemiskinan petani gurem atas tanah di Jawa harus segera diselesaikan, karena kalau tidak, maka masalah-masalah kehutanan Jawa tidak akan terselesaikan.
5. Pendekatan yang arogan dalam penanganan masalah kehutanan Jawa akan menyebabkan eskalasi konflik kehutanan akan semakin tinggi. Sehingga perlu pendekatan yang lebih inofatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar